Entri Populer

Sabtu, 30 Mei 2020

Kekuasaan Presiden

Hak Prerogatif Prerogatif berasal dari bahasa latin praerogativa ( dipilih sebagai yang paling dahulu memberi suara), praerogativus (diminta sebagai yang pertama memberi suara), praerogare ( diminta sebelum meminta yang lain). Dalam prakteknya kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut dengan istilah “hak prerogatif Presiden” dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya (terutama bagi sistem yang menganut pemisahan kekuasaan secara tegas, seperti Amerika Serikat), seperti membuat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi. Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam prakteknya sulit mendapat tempat. Sehingga, dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang ketatanegaraan tidak pernah menyatakan istilah hak prerogatif Presiden. Namun dalam prakteknya, selama orde baru, hak ini dilakukan secara nyata, misalnya dalam hal pengangkatan menteri-menteri departemen. Hak ini juga dipadankan terutama dalam istilah Presiden sebagai kepala negara yang sering dinyatakan dalam pengangkatan pejabat negara. Dalam hal ini Padmo Wahjono menyatakan pendapatnyayang akhirnyamemberikan kesimpulan bahwa hak prerogatif yang selama ini disalahpahami adalah hak administratif Presiden yang merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak berarti lepas dari kontrol lembaga negara lain. Bentuk kekuasaan Presiden di Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut: • Kekuasaan Kepala Negara Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Di Indonesia, kekuasaan Presiden sebagai kepala negara diatur dalam UUD 1945 Pasal 10 sampai 15. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara di masa mendatang selayaknya diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari kontrol lembaga lain. • Kekuasaan Kepala Pemerintahan Kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan pemerintahan sama dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan dan pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap besar dan mendapat pengawasan dari badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam UUD 1945, fungsi pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh DPR. • Kekuasaan Legislatif UUD 1945 menetapkan fungsi legislatif dijalankan oleh Presiden bersama dengan DPR. Presiden adalah “partner” DPR dalam menjalankan fungsi legislatif. Dalam kenyataannya, Presiden mempunyai kekuasaan yang lebih menonjol dari DPR dalam hal pembentukan undang-undang, karena penetapan akhir dari suatu undang-undang yang akan diberlakukan ada di tangan Presiden. Produk undang-undang yang dikeluarkan orde baru lebih memihak kekuasaan daripada kehendak rakyat Indonesia. Oleh karena itu sistem check and balance mendesak untuk diterapkan dengan mekanisme yang jelas. Bila ada pertentangan antara Presiden dan DPR dalam hal persetujuan suatu undang-undang, maka Presiden harus menyatakan secara terbuka dan menggunakna hak vetonya. Dengan demikian, di akhir masa jabatannya masing-masing lembaga dapat diminta pertanggungjawabannya baik di sidang umum maupun dalam pemilihan umum. • Kategori Kekuasaan Presiden Kekuasaan Presiden RI dinyatakan secara eksplisit sebanyak 24 bentuk dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan mekanisme pelaksanaannya, bentuk kekuasaan tersebut dikategorikan sebagai berikut : A. Kekuasaan Presiden Yang Mandiri. Kekuasaan yang tidak diatur mekanisme pelaksanaannya secara jelas, tertutup atau yang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Yang termasuk kekuasaan ini adalah 1. Kekuasaan tertinggi atas AD, AL, AU dan Kepolisian Negara RI 2. Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya 3. Kekuasaan mengangkat duta dan konsul 4. Kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 5. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri 6. Kekuasaan mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU inisiatif DPR 7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung RI 8. Kekuasaan mengangkat Panglima ABRI 9. Kekuasaan mengangkat LPND Mekanisme yang paling baik adalah mengadakan hearing terlebih dahulu di DPR. B. Kekuasaan Presiden Dengan Persetujuan DPR. Yang termasuk dalam kekuasaan ini adalah : 1. Kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian 2. Kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain 3. Kekuasaan membentuk undang-undang 4. Kekuasaan menetapkn PERPU 5. Kekuasaan menetapkan APBN Sebelum melaksanakan kekuasaan tersebut, Presiden memerlukan persetujuan DPR terlebih dahulu. Sebagai contoh, jika DPR menganggap penting suatu perjanjian, maka harus mendapat persetujuan DPR. Jika perjanjian dianggap kurang penting oleh DPR dan secara teknis tidak efisien bila harus mendapat persetujuannya terlebih dahulu, dapat dilakukan dengan persetujuan Presiden. Hal ini dilakukan untuk menghindari terulangnya peminggiran peranan wakil rakyat dalam peranannya menentukan arah kebijakan politik negara. C. Kekuasaan Presiden dengan konsultasi. Kekuasaan tersebut adalah : 1. Kekuasaan memberi grasi 2. Kekuasaan memberi amnesti dan abolisi 3. Kekuasaan memberi rehabilitasi 4. Kekuasaan memberi gelaran 5. Kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya 6. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah 7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim 8. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Hakim Agung, ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Anggota MA 9. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPA 10. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan anggota BPK 11. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Wakil jaksa agung dan jaksa agung Muda 12. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Kepala Daerah Tingkat I 13. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Panitera dan Wakil Panitera MA 14. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen, Irjen, dan Dirjen departemen 15. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen DPA 16. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen BPK 17. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota MPR yang diangkat 18. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota DPR yang diangkat 19. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Gubernur dan Direksi Bank Indonesia 20. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Rektor 21. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Deputi-deputi atau jabatan yang setingkat dengan deputi LPND Sebagai contoh, kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya. Di masa datang, Presiden harus mendapat usulan atau pertimbangan dulu dari Dewan Tanda-tanda Kehormatan, dan Presiden dengan sungguh-sungguh memperhatikan pertimbangan atau usul. Disamping itu di dalam penjelasan pasal 10,11,12,13,14 dan 15 disebutkan bahwa kekuasaan Presiden di dalam pasal-pasal tersebut adalah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Kekuasaan ini lazim disebut pula sebagai kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan, maupun advis dari suatu lembaga tinggi negara lainnya. Jadi, bukan kewenangan khusus (hak prerogatif) yang mandiri.

Hak prerogatif Presiden

Pengertian Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Deponering A. Grasi Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat dilakukan atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki keuatan hukum yang tetap, termasuk putusan Mahkamah Agung. Istilah grasi berasal dari kata “gratie” dalam bahasa Belanda atau “granted” dalam bahasa Inggris. Yang berarti wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman itu. Secara singkat, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan grasi sebagai ampunan yang diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman. Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002, yang dimaksud Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Dari berbagai pengertian diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan grasi ialah sebuah tindakan yang dilakukan oleh Presiden dalam memberikan ampunan pada seseorang dengan cara mengubah, menghapus atau mengurangi hukuman yang diberikan oleh hakim. Sesungguhnya grasi bukanlah sebuah upaya hukum, karena upaya hukum hanya terdapat sampai pada tingkat Kasasi ke MA. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak prerogatif Presiden dan juga diputuskan berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2002, maka dapat kita ketahui bahwa grasi dapat dimohonkan pada pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. dan Permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal: a.terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; b.terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima. • Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa: a. Peringanan atau perubahan jenis pidana b. Pengurangan jumlah pidana c. Penghapusan pelaksanaan pidana. • Permohonan Grasi dapat diajukan oleh: a. Terpidana atau Kuasa Hukumnya b. Keluarga Terpidana, baik dengan persetujuan terpidana maupun tanpa persetujuan terpidana (bagi terpidana hukuman mati. Grasi sangat dibutuhkan dalam pemerntahan suatu negara karena dapat meminimalisasi beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi. Boleh dibilang grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan. B. Amnesti Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti berasal dari kata Yunani, “amnestia”, yang berarti keterlupaan. Secara umum amnesti adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif tertinggi, badan legislatif atau badan yudikatif. Dalam KBBI, amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yg diberikan kepala negara kpd seseorang atau sekelompok orang yg telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara. Sama dengan grasi, amnesti merupakan hak prerogatif Presiden dalam tataran yudikatif. Seperti disebutkan diatas, bahwa amnesti diberikan kepada kelompok orang yang pernah melakukan hal-hal yang berakibat luas bagi pemerintahan negara. Dan biasanya amnesti diberikan tanpa syarat. Oleh karena itu, dalam pemberiannya, amnesti tidak bisa diberikan secara sembarangan, tetapi harus melalui pertimbangan yang panjang serta adanya jaminan bahwa kelompok tersebut tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan negara. C. Abolisi Abolisi berasal dari bahasa Inggris, “abolition”, yang berarti penghapusan atau pembasmian. Menurut istilah abolisi diartikan sebagai peniadaan tuntutan pidana. Artinya, abolisi merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan. Dari definisi diatas, tentu kita pun dapat mengetahui bahwa sebenarnya abolisi bukanlah suatu pengampunan dari Presiden kepada para terpidana. Tetapi merupakan sebuah upaya Presiden untuk menghentikan proses pemeriksaan dan penuntutan kepada seorang tersangka. Karena dianggap pemeriksaan dan penuntutan tersebut dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. D. Rehabilitasi Rehabilitasi berasal dari bahasa Latin, “habilitare” yang berarti “membuat baik”. Dalam perspektif ini, yang dimaksud rehabilitasi ialah suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. KBBI secara singkat menterjemahkan rehabilitasi sebagai pemulihan kpd kedudukan (keadaan, nama baik) yg dahulu (semula). Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya Secara psikologis, tentu penetapan seseorang sebagai terpidana atau “hanya” sebagai tersangka atas sebuah perkara hukum tentu akan membawa dampak yang cukup besar, bukan hanya bagi dirinya tetapi juga bagi orang-orang disekitarnya. Oleh karena itu, rehabilitasi dapat dianggap sebagai tanggung jawab psikologis Presiden dalam memperbaiki nama, hak, dan citra seseorang yang terlanjur dihubungkan dengan perkara hukum, tetapi tidak dapat dibuktikan keterlibatannya atau sangkaan yang salah. E. Deponering Deponering dikenal sebagai upaya pembekuan perkara. Artinya suatu kasus dihentikan/ditutup selamanya meski ada pergantian rezim. Deponering merupakan mekanisme yang dimiliki oleh Kejaksaan Agung untuk mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum. Jaksa agung menghentikan penyelidikan dengan alasan untuk keselamatan negara. Yang cukup menarik dari bahasan ini, penulis tidak sama sekali menemukan padanan mengenai asal kata deponering. Yang cukup mengejutkan ternyata penulis menemukan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa deponering sesungguhnya bukanlah istilah yang tepat untuk upaya ini, berikut artikel yang diunduh dari detiknews.com: “Den Haag - Pemilihan kata deponering untuk definisi penghentian perkara adalah salah dan sesat. Yang mengejutkan, dari guru besar, praktisi hukum, sampai wartawan memakai kata deponering yang salah itu. Bahkan terminologi sesat ini masuk dalam laporan resmi Tim 8! Deponering bentuk kata benda dari deponeren, menurut definisi dalam bahasa aslinya di Negeri Belanda artinya menyerahkan, melaporkan, mendaftarkan. Ini bisa ditemukan dalam hukum dagang, administrasi maupun perpajakan. Het bedrijf wilde zijn merknaam deponeren (Perusahaan itu ingin mendaftarkan nama merknya). Gedeponeerde merk = merk terdaftar. Proses penyerahan, pelaporan atau pendaftarannya disebut deponering. Deponeren jaarstukken = laporan tahunan. Dalam bahasa sehari-hari deponeren bisa bermakna membuang. Jij kun je afval in deze ton deponeren (Kamu bisa membuang sampahmu di tong ini). Sedangkan menghentikan atau menyampingkan perkara seperti dimaksudkan para ahli hukum di tanah air adalah bukan deponering, melainkan seponering, bentuk kata benda dari seponeren. Seponeren artinya terzijde leggen (menyampingkan), niet vervolgen (tidak menuntut). Terminologi ini hanya dikenal dalam hukum pidana sebagaimana diatur dalam Het Nederlands Strafprocesrecht (KUHAP Belanda). Definisinya, menyampingkan atau tidak melanjutkan penuntutan terhadap tersangka karena pertimbangan azas oportunitas atau karena tidak cukup bukti untuk dibawa ke pengadilan. Het Openbaar Ministerie heeft de zaak tegen een brandweercommandant geseponeerd (Kejagung telah menyampingkan perkara terhadap komandan pemadam kebakaran). Sinonim dari seponeren adalah sepot. Penghentian penuntutan karena dianggap tidak perlu (pertimbangan azas oportunitas) disebut dengan beleidssepot (penghentian secara kebijakan), sedangkan penghentian karena tidak cukup bukti disebut dengan technisch sepot (penghentian secara teknis). Kewenangan atas seponeren atau sepot ini menurut strafprocesrecht ada di tangan kepolisian dan kejaksaan. Bagaimana urusan seperti ini sampai harus presiden yang memutuskan dan para ahli hukum dari praktisi sampai guru besar bisa salah dalam terminologi mendasar ini? Catatan lima alinea ini meninggalkan hipotesis bahwa mungkin salah satu pemicu kesemrawutan penerapan dan penegakan hukum di Indonesia karena kelemahan dalam memahami teks bahasa Belanda yang diwarisi, sehingga akhirnya tersesat. Perhatikan sikap presiden, yang tidak mau menindak pejabat Polri dan Kejagung, dengan dalih tidak mau mencampuri proses hukum. Di Negeri Belanda, proses hukum yang tidak bisa dicampuri oleh siapapun adalah pengadilan. Mendagri dalam situasi khusus bisa memanfaatkan kewenangannya untuk menindak pejabat penyidik. Kewenangan ini untuk mencegah jangan sampai kejagung dan polisi dikendalikan cukong. Selanjutnya Mendagri mempertanggungjawabkan kebijakannya secara politik di depan parlemen. Setahu saya juga bahwa Kejagung dan Kapolri dalam organogram berada di bawah presiden, bukan yustisi. Dengan sikap presiden itu sempurnalah sudah tengara kesesatan, beserta segala akibatnya.” Tentu apapun bahasanya, deponering telah dikenal oleh publik sebagai sebuah tindakan penghentian penuntutan yang dikeluarkan oleh MA, karena penuntutan yang dilakukan dianggap dapat mengganggu stabilitas negara (layaknya abolisi). Tetapi dari artikel tersebut tentu ke-absahan deponering sebagai sebuah istilah hukum di Indonesia perlu dipertanyakan lagi. KESIMPULAN Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensiil, akan tetapi sifatnya tidak murni, karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Namun dengan empat perubahan pertama Undang-undang Dasar 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan presiden secara langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan MPR, maka sistem pemerintahannya menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan presidensiil murni. Dalam sistem presidensiil yang murni, tidak perlu lagi dipersoalkan mengenai pembedaan atau pemisahan antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan, karena dalam pemerintahan presidensiil murni cukup memiliki presiden dan wakil presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan. Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Namun seringkali, karena kuatnya otoritas yang dimilikinya, timbul persoalan berkenaan dengan dinamika demokrasi. Oleh karena itu, dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan sistem presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi. Misalnya, Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA” dan “Presiden memberikan amnesty dan abolisi dengan mempertimbangkan DPR”. Hal ini bertujuan agar hak preogratif presiden dibatasi dan tidak lagi bersifat mutlak. Perubahan aturan mengenai hak prerogatif yudikatif Presiden itu memang memberikan pembatasan tersendiri bagi Presiden agar tidak dengan mutlak menggunakan kekuatan hukumnya untuk diberikan berdasarkan kepentingan politiknya saja. Misalnya seperti yang terjadi pada penahanan dan pembebasan napol/tapol pada era orde baru dan orde lama. Pada kasus kekinian yang sangat menyita perhatian masyarakat, wacana penggunaan hak-hak prerogatif Presiden kembali menguak seiring terbukanya kasus kriminalisasi petinggi KPK. Namun apa daya pada akhirnya Presiden tidak mengambil salah satu dari hak yudikatifnya sebagai upaya meluruskan proses hukum yang terjadi, karena UUD 1945 memang tidak memperbolehkannya campur tangan dalam proses hukum tanpa melalui pertimbangan MA dan DPR. Walaupun publik mengetahui dan dapat menilai bahwa dalam kasus itu, Mahkamah Agung (walau tidak secara institusi) juga terlibat. Dari gambaran itulah kemudian, kita sebenarnya dapat menganalisa lebih jauh lagi mengenai efektivitas Pasal 14 UUD 1945 yang telah diamandemen, karena lebih membutuhkan waktu yang lama dalam prosesnya. Berdasarkan sejarah, upaya Presiden dalam ikut dalam penyelesaian suatu kasus melalui hak-haknya bukanlah hal yang asing dalam kehidupan bernegara Indonesia. Dalam hal pemberian grasi misalnya, sesungguhnya bukanlah hal baru di Indonesia mengingat pada masa Orde Baru sering diberikan grasi, termasuk perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan oleh presiden Soeharto. Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat kekuasaan Orde Baru telah bertengger selama 32 tahun. Di masa reformasi, masalah grasi juga sempat menjadi sesuatu yang menarik perhatian, dimana ketika itu Presiden Megawati Soekarnoputri menolak memberikan grasi kepada enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang dalam kasus narkoba. Selain itu, dalam memberikan amnesti dan abolisi, Presiden sedikitnya telah 3 kali menggunakannya dan kemudian menjadi polemik di masyarakat, yakni terhadap para aktivis PRRI/Permesta, DI/TII, dan yang terbaru, GAM. Pemberian amnesti dan abolisi ini menjadi polemik karena dikhawatirkan mereka akan kembali berkhianat dan berbuat makar kembali. Tetapi hal ini mungkin dapat dieliminir dengan adanya pernyataan berjanji setia kembali kepada NKRI. Yang paling menarik perhatian penulis ialah pada pembahasan deponering. Dimana deponering ialah wewenang Jaksa Agung untuk menghentikan penuntutan karena penuntutan yang dilakukan dianggap dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Menurut penulis, wewenang ini sedikit banyak bertabrakan dengan hak abolisi milik Presiden, serta SKPP (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan) yang juga milik Jaksa Agung. Artinya adanya deponering bisa jadi merupakan penghamburan karena dapat terjadi dua tindakan yang sama dengan berbeda proses dan aturan. Selain itu juga, deponering secara istilah masih dipertanyakan karena ternyata kata deponering itu sendiri tidaklah mengacu pada pengabaian proses hukum. REFERENSI 1. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia YLBHI. 2007. “Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2. Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, diakses 05 Desember 2009 3. Eddi Santosa. 2009. “Deponering Sebuah Kesesatan” dalam http://www.detiknews.com/read/2009/11/23/175547/1247279/10/deponering-sebuah-kesesatan, diakses 06 Desember 2009 4. Undang-Undang Dasar 1945; Amandemen I, II, III, IV 5. Undang-Undang No. 22 Tahun 2000 Tentang Grasi 6. Sumber Lainnya.